14 November 1963 bisa dibilang tanggal keramat berkat perjanjian bersejarah antara dua presiden paling kharismatik pada jaman itu.
Presiden Indonesia Soekarno - yang dikenal sebagai Ahmed Sukarno di luar negeri - sepakat tandatangani The Green Hilton Agreement dengan Presiden Amerika John F Kennedy.
Dengan penuh kebanggan Sukarno menyerahkan sekitar 57.147 ton emas murni 24 karat kepada State Treasury. Itulah harta nasional dan konon titipan/amanat dari kerajaan-kerajaan Asia.
Tahun 1967 dinyatakan sah oleh pemerintah Amerika, tapi sayangnya pada 24 November 1963 Kennedy tewas dibantai dan pada 1965 Sukarno digulingkan dari istana. Presiden Johnson, penerus Kennedy, membatalkan perjanjian. Yaitu perjanjian cetak dollar dengan dukungan emas tersebut. Sejak itu nasib 57.147 ton emas amat misterius, nyangkut dalam kekuasaan The Fed (Federal Reserves) bank sentral Amerika.
Saking rahasia dan misteriusnya sampai tidak ada entri khusus dalam “wikipedia” tentang The Green Hilton Agreement. Mainstream media juga tutup mulut. Indikasi kuat wikipedia dan mainstream media tidak jujur alias alat propaganda Amerika dkk belaka.
Ada pula informasi emas tersebut disimpan di Swis karena bank Swis UBS yang jadi penampung sekaligus penengah. Namun disimpan di manapun tetap itu titipan alias amanat yang wajib kembali kepada pemilik. Sebagian kecil milik Indonesia, sebagian besar milik negara lain. Bukannya dikekepin 39 tahun terus diputar untuk keuntungan pemegang barang.
Keberadaan emas bukan khayalan. Terbukti pada 2003 dibuka lembaga OITS di Thailand sebagai wujud pengakuan. Dihandel oleh Dr.Ray C Dam melalui “International Combined Colleteral Accounts” sebagai pasangan “Global Debt Facility”. Semacam pengakuan hutang antar bangsa. Lembaga ini diakui PBB (UN). Sayangnya belum cair dana kepada pemilik malah keburu ribut.
Tercatat nama-nama terkait pencairan dana simpanan emas internasional, termasuk emas di luar amanat Bung Karno yaitu Ferdinan Marcos, adalah: Dr.Edison Damanik, Neil Keenan, Michael Meiring, Steve Scott, Joseph Daraman, Wilfredo Saurin alias Yohanes Riady. Nama-nama ini bukan jaminan pemegang amanat yang sah. Malah Wilfredo Saurin masuk blacklist penipuan sertifikat emas. Konon harta karun trilyun dollar itu telah banyak makan korban nyawa dan penipuan harta serta pemalsuan sertifikat bon emas.
Presiden SBY belakangan dikabarkan menyerahkan urusan emas tersebut kepada IMF dan World Bank sesuai saran kelompok negara G20. Kemudian Indonesia memperoleh hibah $2,8 milyar dari IMF. Nah pertanyaannya adalah: Apa benar hibah ini wujud kompromi untuk melupakan 57147 ton emas bernilai trilyun dollar?
Mungkin SBY sudah patah hati karena yakin bakal gagal menuntut dikembalikannya emas amanat Bung Karno. Mungkin kalkulasi politiknya mengatakan percuma melawan negara besar yang amat berkuasa. Mungkin kalkulasi ekonominya paham betul emas tersebut dikuasai jaringan bankir internasional aliansi kalangan pengusaha, kerajaan, agama. Maka SBY cari aman, biarlah kecipratan sedikit lumayan.
Ada pula informasi yang terdengar ganjil. Salah satu syarat pencairan emas konon adalah menunggu persetujuan Sri Paus (The Pope), petinggi Katolik di Vatikan, Roma Itali. Bila ini benar maka kian membingungkan. Apa kaitan Sri Paus dengan Bank Sentral Amerika (THE FED) dan simpanan Emas? Apakah Vatikan pemegang saham terbesar The Fed yang dikuasai swasta sejak dulu kala?
Semua misteri itu mungkin hanya Presiden SBY, Wapres Boediono, dan bekas Direktur World Bank Sri Mulyani yang mampu mengungkap. Itu pun kalau berani! Kalau berani membela rakyat Indonesia sekaligus menunaikan amanat Bung Karno 39 tahun yang silam.