Saturday, September 22, 2012

Kerajaan Sriwijaya, Kejayaan Bangsa Melayu


Rektor Universitas Sebelas Maret, Solo, Prof Ravik Karsidi meresmikan Pusat Studi Bangsa Melayu, yang akan menampung segala bentuk riset mengenai bahasa dan budaya Melayu. Riset yang dilakukan adalah hasil kerjasama antara peneliti Indonesia dan Malaysia.
“Menarik untuk diteliti adalah mengenai bahasa Melayu, merupakan akar bahasa Indonesia dan pernah diusulkan untuk menjadi salah satu bahasa internasional. Sebab, pengguna bahasa tersebut tergolong cukup besar, bisa mencapai 400 juta jiwa,” ujar Ravik. 

Berbicara bangsa Melayu atau suku Melayu sudah tentu menunjuk pada suatu kelompok yang ciri utamanya adalah penuturan bahasa Melayu. Suku Melayu bermukim di sebagian besar Malaysia, pesisir timur Sumatera, sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand Selatan, serta pulau-pulau kecil yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata. 

Di Indonesia, jumlah suku Melayu sekitar 15% dari seluruh populasi, yang sebagian besar mendiami Provinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat. Meskipun begitu, banyak pula masyarakat Minangkabau, Mandailing, dan Dayak yang berpindah ke wilayah pesisir timur Sumatera dan pantai barat Kalimantan, mengaku sebagai orang Melayu. Selain di Nusantara, suku Melayu juga terdapat di Sri Lanka, Kepulauan Cocos (Keeling) (Cocos Malays), dan Afrika Selatan (Cape Malays). 

Nama "Malayu" berasal dari Kerajaan Malayu yang pernah ada di kawasan Sungai Batang Hari. Dalam perkembangannya, Kerajaan Melayu akhirnya takluk dan menjadi bawahan Kerajaan Sriwijaya. Pemakaian istilah Melayu-pun meluas hingga ke luar Sumatera, mengikuti teritorial imperium Sriwijaya yang berkembang hingga ke Jawa, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Jadi orang Melayu Semenanjung berasal dari Sumatera (Lihat Peta). 

Berdasarkan prasasti Keping Tembaga Laguna, pedagang Melayu telah berdagang ke seluruh wilayah Asia Tenggara, juga turut serta membawa adat budaya dan Bahasa Melayu pada kawasan tersebut. Bahasa Melayu akhirnya menjadi lingua franca menggantikan Bahasa Sanskerta. Era kejayaan Sriwijaya merupakan masa emas bagi peradaban Melayu, termasuk pada masa wangsa Sailendra di Jawa, kemudian dilanjutkan oleh kerajaan Dharmasraya sampai pada abad ke-14, dan terus berkembang pada masa Kesultanan Malaka sebelum kerajaan ini ditaklukan oleh kekuatan tentara Portugis pada tahun 1511. 

Masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-12, diserap baik-baik oleh masyarakat Melayu. Islamisasi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat jelata, namun telah menjadi corak pemerintahan kerajaan-kerajaan Melayu. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kesultanan Johor, Kesultanan Perak, Kesultanan Pahang, Kesultanan Brunei, dan Kesultanan Siak. Kedatangan kolonialis Eropa telah menyebabkan terdiasporanya orang-orang Melayu ke seluruh Nusantara, Sri Lanka, dan Afrika Selatan. Di perantauan, mereka banyak mengisi pos-pos kerajaan seperti menjadi syahbandar, ulama, dan hakim. 

Dalam perkembangan selanjutnya, hampir seluruh Kepulauan Nusantara mendapatkan pengaruh langsung dari Suku Melayu. Bahasa Melayu yang telah berkembang dan dipakai oleh banyak masyarakat Nusantara, akhirnya dipilih menjadi bahasa nasional Indonesia, Malaysia, dan Brunei.
Tentang kejayaan Kerajaan Sriwijaya ini, Muhammad Yamin, pelaku sejarah asal Sawahlunto Sumatera Barat pernah berimajinasi jika kelak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan “Imperium Nusantara III,” setelah Sriwijaya dan Majapahit. Imajinasi ini diutarakan Muhammad Yamin dan Soekarno di satu pihak, dengan Hatta yang berbeda pandangan mengenai Indonesia yang dicita-citakan, di pihak lain.Imajinasi ini semakin jauh dari kenyataan ketika hampir semua negara yang dicita-citakan Muhammad Yamin dan Soekarno memerdekakan diri. 

Muhammad Yamin juga merupakan pemrakarsa menjadikan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional dalam Kongres Pemuda, 28 Oktober 1928. Pada waktu Sumpah Pemuda itu, menurut Ajip Rosidi, seorang sastrawan, bahasa Indonesia dalam masyarakat masih disebut sebagai “bahasa Melayu.” Pemerintah Hindia Belanda, melarang pemakaian istilah “Bahasa Indonesia,” hingga mereka takluk pada bala tentara Jepang (1942). Setelah itu barulah bahasa Indonesia diperkenalkan ke dunia luar.
“Para pemimpin pergerakan kemerdekaan, seperti H.Agoes Salim, Ir.Soekarno, Drs Moh.Hatta, Sjahrir, M.Natsir dan lain-lain menggunakan dan memperkaya bahasa Indonesia melalui tulisan dan pidato-pidatonya,” ujar Ajip Rosidi. 

Dalam lapangan kesusasteraan, Abdoel Moeis menulis Salah Asuhan (1928), Armijn Pane menulis Belenggu (1938), Amir Hamzah menulis Nyanyi Sunyi (1937) memperkaya perbendahaaraan bahasa Melayu ini melalui roman dan puisinya. 

Setelah kemerdekaan, Chairil Anwar di dalam sajak-sajaknya menguasai bahasa Melayu sangat baik. Jika kita berbicara mengenai suku Melayu, bahasa Melayu yang berasal dari Sumatera, tidak berkelebihan pula saya ingin menyampaikan pesan singkat kepada universitas tertua di Sumatera, yaitu Universitas Andalas di Sumatera Barat yang pada 13 September 2012 ini akan berulang tahun. Universitas ini merupakan satu-satunya universitas yang ada di Pulau Sumatera tahun 1956. Pun dibidani oleh Muhammad Yamin yang pada waktu itu menjabat Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia di samping Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden RI. Pertanyaannya, sejauh mana Universitas Andalas melakukan hal sama bagi pengembangan bahasa Melayu? Apakah sudah lebih dulu melakukan berbagai penelitian sebelum Universitas Sebelas Maret, Solo mendirikan Pusat Studi Bahasa Melayu baru-baru ini? 

source